Searching for the truth … Read the Qur’an

Rekonseptualisasi Zakat untuk Keadilan

Posted by alisaid on 14 November 2007

Oleh: Dani Muhtada*) 

Zakat merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi keka yaan di kalangan elit ekonomi tertentu. Tidak hanya itu, ia juga berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat dan konsumsi total. Jika dikelola secara profesional, apalagi jika ada dukungan politik yang kuat dari pemerintah (Indonesia), instrumen ekonomi ini juga dipercaya mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kemandirian ekonomi.

Di bawah genggaman ekonomi neo-liberal seperti saat ini, masyarakat muslim Indonesia seharusnya mampu mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umum. Sayangnya, pengelolaan zakat masih menyisakan beberapa kendala konseptual dan teknis. Salah satu akar persoalannya ada pada formalitas zakat. Artinya, zakat hanya diangap sebagai kewajiban normatif, tanp a memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang. Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah). Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri. Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.

Beberapa aturan dalam fiqh zakat, jika diterapkan dalam konteks kekinian, juga mencerminkan hilangnya spirit keadilan sosial dan ekonomi. Misalnya aturan tentang nisab. Di zaman Nabi, nisab untuk beberapa harta kena zakat nilainya sama (Monzer Kahf, 1999). Nisab sapi (30 ekor) nilainya sama dengan nisab kambing (40 ekor) dan emas (20 dinar). Jika kita mengikuti aturan nisab tersebut saat ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa 30 ekor sapi nilainya sama dengan 40 ekor kambing. Jika nisab sapi senilai Rp 150 juta (asumsinya 1 sapi = Rp 5 juta), maka nilai nisab kambing hanya sekitar 32 juta (asumsinya 1 kambing = Rp 800 ribu). Implikasinya, menjadi tidak adil bila seorang peternak kambing dengan omset senilai 32 juta dibebani kewajiban membayar zakat, sementara peternak sapi dengan omset yang sama (i.e., 32 jt) tidak dibebani kewajiban serupa hanya karena belum sampai nisabnya.

Persoalan nisab akan lebih tampak manakala kita menyertakan pertimbangan geografis. Jika diasumsikan nisab harta perdagangan senilai Rp 8,5 juta per tahun (asumsinya setara dengan nisab emas 85 gram menurut Yusuf Qardawi, dan 1 gr emas setara Rp 100rb), maka setiap pedagang muslim yang memiliki omset senilai itu, di manapun ia berada di Indonesia, wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2.5%. Padahal, nilai uang Rp 8.5 juta bagi pedagang di kota-kota besar berbeda dengan nilai uang yang sama bagi pedagang di daerah-daerah terpencil. Logikanya, standar besarnya nisab pun mestinya berbeda pula, tergantung tingkat pendapatan ekonomi suatu wilayah.

Formalitas zakat juga menyisakan persoalan dalam hal penentuan harta kena zakat. Jika kita mengacu pada aturan fiqh klasik, maka harta yang wajib di zakati hanya l ogam mulia (emas dan perak), ternak (onta, sapi dan kambing), pertanian, perniagaan, barang tambang, dan barang temuan. Padahal, di masa kini, banyak sumber-sumber penghasilan besar terdapat di luar tujuh sektor tersebut. Dunia inidustri, entertainment, dan bisnis-bisnis jasa lainnya merupakan ladang penghasilan yang jauh lebih besar tingkat pendapatannya daripada pendapatan petani di Indonesia. Di tahun 2003 saja, pendapatan petani hanya sekitar 1,25 juta per tahun (Khudori, 2004) atau sekitar 100 ribu perbulan. Jumlah tersebut belum termasuk ongkos produksi dan transaksi yang dapat mencapai 75% (Yustika, 2003). Padahal, menurut aturan fiqh, mereka harus mengeluarkan zakat setiap kali panen mencapai hasil lebih dari 650 kg (gabah kering). Maka menjadi tidak adil jika para petani dibebani zakat dengan standar nisab sekecil itu, sementara pelaku-pelaku bisnis dan dunia usaha tidak hanya karena ladang pekerjaan mereka tdiak tersebut dalam fiqh klasik.

Model pendistribusian dana yang tidak menyertakan pemetaan ekonomi dan sosial juga menjadi cermin hilangnya spirit keadilan sosial ekonomi dalam zakat. Tidak sedikit muzakki yang langsung memberikan zakat kepada faqir dan miskin tanpa memperhatikan apakah dana zakat tersebut mampu meningkatkan level kesejahteraan mereka atau tidak. Muzakki mungkin hanya berpikir tentang hukum, bahwa cukup baginya mengeluarkan zakat, sehingga kewajibannya sebagai muslim gugur. Di sinilah pentingnya amil dalam proses penyaluran zakat. Lembaga amil yang profesional sangat diperlukan agar proses pengumpulan dana (fundraising) serta pendistribusiannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Salah satu membuatnya efektif dan efisien adalah dengan melakukan pemetaan sosial dan ekonomi. Susahnya, kadang-kadang kita menganggap amil hanya sekedar sebagai pos pengumpul zakat, tanpa tuntutan kerja optimal untuk usaha fundraising dan pola pendistribusian dana yang profesional. Amil semacam ini sebenarnya tidak layak menerima porsi dana zakat sebagaimana yang diamanatkan al-Quran (9: 60).

Melihat beragam persoalan teknis-konseptual seperti tersebut di atas, ada beberapa hal yang penting diperhatikan untuk lebih mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi keadilan sosial ekonomi serta kesejahteraan umum.

Pertama adalah konsep “harta kena zakat”. Perlu dicermati bahwa harta kekayaan yang dikenal di Madinah pada masa Nabi SAW hanyalah investasi dagang, tanah pertanian, serta logam mulia (emas dan perak) termasuk yang digunakan sebagai uang dan perhiasan. Masyarakat waktu itu tidak mengenal bentuk-bentuk kekayaan modern seperti yang dikenal pada masyarakat industri (Kahf, 1999). Ketika bisnis jasa dan industri menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat modern, maka harus ada pengembangan tentang konsep “harta kena zakat”, lebih dari sekedar harta-harta yang dikenal di masa Nabi. Jika tidak, maka institusi zakat akan kehilangan ruhnya sebagai penopang keadilan ekonomi dan kesejahteraan umum.

Kedua adalah standar konvensional nisab, yang  seharusnya sesuai dengan situasi sosial dan ekonomi lokal. Di atas telah disebutkan bahwa ada dua persoalan yang berkaitan dengan standar nisab. Pertama berkaitan dengan kesamaan nilai nisab pada harta-harta kena zakat. Kedua berkaitan dengan kesamaan nilai nisab pada daerah-daerah yang kondisi sosioekonominya berbeda. Untuk mengatasi persoalan ini, perlu ada sebuah tim penentuan nisab kontemporer, yang terdiri atas para ahli hukum Islam dan ekonomi. Tim ini akan merumuskan satu standar nisab bagi harta-harta kena zakat, sehingga nilainya semua sama, sebagaimana yang pernah berlaku di zaman Nabi. Selain itu, tim juga akan merumuskan standar “Nisab Minimum Regional” (NMR) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian tidak ditemukan lagi standar nisab yang bagi suatu wilayah terlampau kecil, sementara bagi wilayah lain justru sebaliknya.

Ketiga adalah soal konsep mustahiq. Upaya reformasi mustahiq ini sebenarnya pernah dikemukakan Masdar Farid (1993) lewat karyanya, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Saripati ide Masdar tentang mustahiq ini penting dicermati, karena akan memungkinkan lembaga-lembaga zakat mendistribusikan dananya untuk kepentingan yang lebih relevan dengan kebutuhan sosial dan ekonomi saat ini. Misalnya tentang konsep budak. Sebagai salah satu penerima zakat yang ditentukan Alquran, budak saat ini sudah tidak ada. Namun, bukan berarti pos dana untuk budak sudah tidak ada. Dana untuk ini dapat disalurkan untuk membebaskan orang-orang yang tertindas atau tidak berdaya menghadapi kekuatan sosial dan ekonomi yang mengungkungnya. Dana untuk “budak” dapat dimanfaatkan misalnya untuk mendanai upaya advokasi korban-korban penggusuran dan meminimalisasi efek kapitalisme global bagi masyarakat kecil.

Keempat adalah penguatan posisi amil. Posisi amil sebagai salah satu mustahiq yang ditentukan Allah (QS. 9: 60) bukanlah tanpa maksud. Penyebutan posisi ini dalam Alquran mengisyaratkan bahwa Tuhan menginginkan adanya pengelolaan dana zakat yang profesional oleh institusi atau kelompok orang tertentu yang disebut amil. Mereka inilah yang melakukan upaya fundraising, sekaligus mengelola dan mendistribusikannya untuk kepentingan tujuan zakat. Untuk kerja mereka inilah mereka berhak mendapat sebagian dana zakat, dan karena itu nama mereka disebut dalam Alquran. Konsekuensinya, lembaga atau orang yang mengatasnamakan amil namun tidak mengeluarkan daya upaya untuk mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikannya secara profesional, maka mereka tidak layak mendapatkan porsi dana zakat. Amil semacam ini justru menggerogoti spirit keadilan sosial dan ekonomi dalam zakat.

Berkaitan dengan penguatan posisi amil ini, peningkatan profesionalisme lembaga-lembaga zakat adalah factor kunci. Profesionalisme ini meliputi upaya proaktif dalam fundraising dengan dua tujuan: meningkatkan pendapatan dana zakat dan meningkatkan jumlah orang sadar zakat. Termasuk profesionalisme lembaga zakat adalah mengoptimalkan pengelolaan dana zakat untuk pemberdayaan ekonomi dan peningkatan sektor riil. Karena itu, lembaga zakat perlu memiliki pemetaan sosial ekonomi yang baik, sehinga dana zakat tepat sasaran. Selain itu, model penyaluran dana zakat yang produktif harus lebih menjadi orientasi lembaga-lembaga zakat, daripada pola-pola distrubusi dana konsumtif.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, zakat akan lebih bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat luas. Sudah saatnya pengelolaan dana zakat mengikuti misi profetik yang diemban Nabi, yaitu misi keadilan distribusi ekonomi dan meminimalkan konsentrasi harta hanya pada kelompok elit tertentu. Barangkali negara masih belum mampu membebaskan diri dari kungkungan monster-monster ekonomi global. Namun dengan ajaran Muhammad, umat Islam dapat mengilhami pemerintah di negeri ini bagaimana cara berdiri di atas kaki sendiri dan melepaskan ekonomi kita dari neoimperialisme negara-negara kapitalis. Salah satunya melalui manajemen zakat profesional. Itu menurut saya.

Bagaimana menurut anda?

*) Penulis adalah alumni program pascasarjana Flinders University, Adelaide, South Australia

3 Responses to “Rekonseptualisasi Zakat untuk Keadilan”

  1. alisaid said

    Ide Nisab Minimum Regional, saya kira perlu mendapat perhatian kaum muslimin mengingat adanya perbedaan standar hidup yang cukup nyata antar wilayah khususnya di Indonesia. Ide ini saya kira sejalan dengan beberapa kebijakan pemerintah khususnya tentang Upah Minimum Regional (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten) yang bervariasi antar wilayah tergantung pada tingkat kemahalan biaya hidup masing-masing wilayah. Selain itu ide Nisab Minimum Regional juga sejalan dengan metode pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS, dimana standar miskin berbeda-beda antar wilayah yang ditunjukkan oleh adanya perbedaan Garis Kemiskinan. Perbedaan garis kemiskinan ini juga merefleksikan perbedaan standar hidup (cost of living) antar wilayah. Jadi kalau standar miskin berbeda, saya kira Minimum Nisab juga bisa berbeda, tetapi tentu dengan mengacu acuan standar. Misalnya Minimum Nisab setara dengan 96 gram emas. Misalnya harga emas 1 gr=Rp. 200.000,- yang merupakan harga rata-rata nasional. Maka minimum Nisab diperoleh Rp. 19.200.000,- yang merupakan Nisab Minimal rata-rata. Dari Nilai ini kemudian disesuaikan berdasarkan perbedaan standar biaya hidup antar wilayah yang datanya saya kira cukup tersedia. Jadi di suatu wilayah yang standar hidupnya lebih murah, maka Minimum Nisab Regional bisa kurang dari Rp. 19.200.000,- sementara di wilayah yang biaya hidupnya sangat Mahal seperti Jakarta, Papua atau tempat lain Minimum Nisab Regional bisa lebih tinggi.

  2. trieha said

    salam

    makasih mas dani buat ilmunya, dahsyat pisan. alhamdulillah rumah zakat sudah terbitkan perumusan standar nishab berbasis propinsi. Kita juga korelasikan dengan UMP yang ditetapkan pemerintah dan update harga emas terbaru.
    Kita juga sudah konsultasikan rumusan ini kepada Ust Dr. Setiawan Budi Utomo, Lc sebagai dewan pengawas syariah kita. Kebetulan beliau salah satu pengamat ekonomi syariah dan sangat antusias menyambut ‘peluncuran’ nishab per wilayah ini.

    Info lengkap ada di http://www.rumahzakat.org ada di menu sisi kanan, nishab di wilayah Anda. Semoga bisa menjadi sedikit awal untuk memulai.

  3. Aly Hasny said

    Salam

    Mungkin analogi saya terlalu naif dan dangkal. Namun jalan pemikiran saya adalah seperti ini :
    1. Shalat dan Zakat sama-sama rukun islam
    2. Penentuan kedua hal tersebut harus berdasarkan Nash yang qad’i (Al Qur’an) dan didukung oleh hadits.

    Oleh karenanya, maka satu hal yang ingin saya jadikan perbandingan. Di Jakarta, khususnya di daerah Mangga Besar, kemaksiatan sangat meraja lela. Sementara dilingkungan lain tidak demikian, bahkan ada daerah-daerah tertentu yang kondisi keagamaannya terbilang cukup baik.
    Pertanyaannya : Apakah didaerah yang kemaksiatan lebih dibandingkan daerah lain itu Shalatnya (yang fardhu) harus menjadi lebih banyak dibandingkan daerah lain ?

    Jika jawabannya IYA, maka analogi yang anda tuliskan cukup masuk akal.
    Tapi kalau jawabannya TIDAK, maka ………..

    Wassalam

    Waalaikum salam
    Maaf saya gak bisa komentar, karena tidak bisa menarik benang merah antara analog yang diberikan dengan kasus nisab yang ada pada tulisan Dani Muhtada.

    Wassalaam ww
    Ali

Leave a reply to Aly Hasny Cancel reply